Minggu, 07 Agustus 2011

Pilih Mana, Bersatu atau Kehancuran

Farriq tasud. Begitulah pepatah Arab kuno menggambarkan strategi penaklukan atas suku dan bangsa lain. Pepatah yang berarti “pecahlah, maka Anda akan menguasai” ini bukan ungkapan kosong. Ini kesimpulan dari segudang peristiwa pertarungan antar kelompok dalam sejarah.

Strategi yang sama diterapkan Pemerintah Belanda untuk menguasai Indonesia pada zaman dahulu. Mereka menyebutnya devide et impera atau strategi adu domba. Berbekal strategi itu Belanda berhasil bercokol di Indonesia selama tiga setengah abad. Alangkah cerdiknya sang “pengadu” dan alangkah bodohnya sang “domba”.

Di zaman modern sekarang ini, teori tersebut tetap dipakai untuk menancapkan hegemoni politik suatu negara kepada negara lain, atau dari umat yang satu kepada umat yang lain. Caranya sama, timbulkan perpecahan dan rontokkan soliditas mereka.

Umat “Buih”

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewanti-wanti hamba-Nya yang beriman untuk selalu menjaga persatuan dengan tidak saling berbantah-bantahan (walaa tanaaza’uu, Al-Anfal [8]: 46), dan tidak bercerai berai (walaa tafarraquu, Ali Imran [3]: 102).

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan hal ini karena akibatnya sangat fatal, yaitu timbulnya rasa gentar dan hilangnya kekuatan (fatafsyaluu wa tadzhaba riihukum, Al-Anfal [8]: 46).

Kalau sudah demikian, umat Islam tak ubahnya bagaikan tubuh tanpa antibodi. Mereka tak mampu menolak virus apapun yang masuk. Akhirnya, mereka menjadi santapan bersama umat lain yang paham, sadar, dan konsisten pada soliditas dan persatuan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal ini dalam dialognya bersama para sahabat, sebagaimana Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad.

Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hampir terjadi keadaan di mana umat-umat lain akan mengerumuni kalian dari berbagai penjuru sebagaimana orang-orang yang makan mengerumuni piring makannya.”

Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena sedikitnya jumlah kami ketika itu?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bahkan pada saat itu kalian banyak jumlahnya, tetapi kalian bagai buih yang terbawa air saat banjir. Sungguh Allah akan mencabut rasa segan yang ada di dalam dada-dada musuh kalian, kemudian Allah campakkan kepada kalian rasa wahn.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa wahn itu?”

Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.”
Kondisi yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah saat-saat di mana eksistensi umat Islam hanya besar secara jumlah, bukan kokoh secara potensi. Mereka seperti buih tak berharga yang mudah terombang-ambing.

Semestinya kaum Muslim saat ini bisa terhindar dari kualitas “buih” dengan cara belajar kepada sejarah kebangkitan dan keruntuhan kaum Muslim dahulu kala.

Dahulu, kebangkitan umat selalu ditandai dengan kemampuan para pemimpinnya dalam menyatukan umat. Sedang keruntuhannya selalu dimulai dari perselisihan.

Umat Islam di Madinah bangkit ke pentas dunia karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil menyatukan kaum Muhajirin dan Anshar serta kelompok-kelompok yang bersengketa. Semangat persatuan itu berlanjut pada masa khulafa’ur rasyidin, hingga umat Islam berhasil membebaskan negara-negara di bawah cengkeraman Romawi dan Persia.
Namun, saat soliditas terkoyak oleh fitnah pada masa Utsman dan Ali, perluasan Islam berhenti (Ahmad Syalabi, Mawsuat al-Tarikh al-Islami: I/585).

Hal yang sama terjadi pada Daulah Umawiyyah yang kekuasaannya sudah mencapai Utara Afrika dan Prancis. Imperium ini pada akhirnya runtuh akibat perpecahan internal, setelah berkuasa selama 91 tahun (41-132H).
Granada sebagai negara Islam terakhir di Spanyol juga jatuh dalam kekuasaan Kristen akibat pengkhianatan Abu Abdillah Muhammad yang rakus ingin merebut kekuasaan saudaranya Muhammad Ibn Sa’d.
Demi ambisinya itu ia menjalin kerjasama dengan raja Kristen, Ferdinand dan Isabella. Ketika Muhammad Ibn Sa’d kalah, Ferdinand berbalik merebut semua kekuasaan pengkhinat itu.

Hal serupa terjadi pula pada imperium penggantinya yaitu Daulah Abbasiyyah. Kekhalifahan ini runtuh setelah bertahan selama 524 tahun (132- 656 H).

Begitu pula dengan Daulah Utsmaniyah yang sempat berkuasa selama enam abad lebih (1299–1923). Kekhalifahan ini jatuh akibat hilangnya soliditas serta disorientasi sebagian tokoh yang mengaku Muslim (Ismail Ahmad Yaghi, al-Dawlah al-Utsmaniyah fi al-Tarikh al-Islami al-Hadits: 210).

Sudah terlalu banyak pengalaman pahit tak terperikan saat kaum Muslim tercerai berai dan lemah tanpa daya. Karena itu kesatuan umat Islam adalah sebuah keharusan. Apalagi secara teologis (syariat), ada sejumlah alasan besar yang mendorong umat Islam untuk selalu membangun dan menjaga persatuan, yakni:

1. Allah memerintahkan bersatu dan melarang bercerai.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran [3]: 103)

Beriman adalah wajib, tetapi persatuan orang-orang yang beriman juga tidak kalah wajib. Sebab, di dalamnya terkandung kemaslahatan yang mutlak harus diwujudkan dan berujung pada pemeliharaan eksistensi agama (hifzhud-din) itu sendiri.

Sebaliknya, saat umat Islam jauh dari persatuan, konsekuensinya adalah hilangnya implementasi berbagai ajarannya, yang berarti terhalangnya realisasi kemaslahatan yang amat dibutuhkan manusia.
Tidak heran bila al-Qurthubi menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala menyuruh untuk bersatu dan melarang dari keterceraiberaian, sebab perpecahan adalah kebinasaan dan persatuan adalah keselamatan.” (al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV:159).

Sekalipun perintah bersatu telah begitu tegas dinyatakan dalam al-Qur`an, namun begitu pentingnya hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih merasa perlu menegaskan lagi dalam sabda beliau, ”Wahai manusia, kalian harus bersatu dan janganlah kalian terpecah. Wahai manusia, kalian harus bersatu dan janganlah kalian terpecah.” (Riwayat Ahmad)

Perlu dicatat, hendaknya kaum Muslim tidak terpedaya oleh Hadits yang digandrungi kaum liberal, yakni, “Perbedaan (perselisihan) umatku adalah rahmat.” Hadits ini diperselisihkan antara dhaif dan maudhu’.
Al-Suyuthi menyatakan bahwa ia gagal menemukan sanad yang maqbul untuk Hadits ini. Albani juga menyatakan Hadits itu tidak berdasar, tanpa sanad atau maudhu’. Kalaupun dianggap sebagai Hadits, maka lingkupnya hanya pada perbedaan ijtihad dan fatwa, bukan perpecahan umat (al-Sakhawi, al-Maqasid al-Hasanah: 70).

2. Islam tidak akan eksis tanpa persatuan.

Omong kosong bila ada pernyataan bahwa ajaran Islam bisa jalan dengan sendirinya, baik aturan pribadi maupun komunitas, hanya dengan menggantungkan pada kesadaran. Berapa persen penjahat di dunia yang dengan sadar mengakui kejahatannya tanpa proses tertangkap dan terhukum?
Umar Radhiyallahu Anhu mengatakan, ”Sesungguhnya Islam tidak akan eksis secara sempurna tanpa jamaah. Tiada jamaah kecuali dengan pemerintahan. Dan tiada pemerintahan kecuali didukung dengan ketaatan.” (Riwayat ad-Dailami).

3. Adanya amanah Allah yang tak mungkin terlaksana tanpa persatuan.

Amanah Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menegakkan agama (iqamatud-din) tidak mungkin dapat terlaksana tanpa persatuan umat di bawah satu kepemimpinan. Begitu banyak elemen syariat yang baru bisa terlaksana bila kaum Muslim bersatu. Misalnya, jihad fisik, penegakan hukum pidana, dan perdata Islam.
Sebuah kaidah ushul fiqih menyatakan, “Sesuatu yang di mana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya adalah wajib.”

Mengimplementasikan hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala adalah wajib, sementara hal itu tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan persatuan. Maka berusaha untuk bersatu membentuk jamaah di bawah satu kepemimpinan adalah wajib, walaupun tentu mencapainya perlu tahapan.

Banyak dalil dan bukti yang mendukung bahwa barisan kebenaran harus bersatu dan menghindar dari perpecahan yang bisa berujung pada kehancuran. Singkatnya, pilihan kita hanya dua, bersatu atau hancur.
Wallahu a’lam bishshawab.

Referensi : Suara Hidayatullah

0 komentar:

Posting Komentar